Rabu, 29 Oktober 2008

Jepara, RA Kartini dan Emansipasi

Berbicara kota (kabupaten) Jepara, salah satu kota di Jawa Tengah ini, tidak sekadar bicara tentang seni ukirnya yang dikenal hingga ke mancanegara. Banyak hal yang menjadikan kota ini begitu menjadi buah bibir.
Karimun Jawa, misalnya, adalah salah satu kawasan yang masih rupawan, yang saat ini sedang gencar dipromosikan sebagai kawasan wisata internasional, sebagai “Bali”-nya Jawa Tengah.
Selain Karimun Jawa, berbagai kawasan wisata lain juga menarik minat para wisatawan untuk berkunjung. Pantai Kartini, pantai Bandengan dan Benteng Portugis, merupakan kawasan lain yang cukup dikenal masyarakat.
Berbagai kerajinan tangan juga banyak di kota ini, sebagai home industry. Sebuah usaha kecil yang cukup membantu pemerintah dalam memberdayakan ekonomi kerakyatan. Selain tentunya, banyaknya perusahaan mebel dan ukir yang berdiri dan telah membangun relasi dengan kalangan industri luar negeri.

RA KARTINI
Namun tidak sekadar itu saja yang menjadikan Jepara ini menjadi kota yang sangat diperhitungkan. Tetapi karena di kota ini pula, pernah lahir seorang pahlawan besar yang dikenang dan diperingati hari kehalirannya hingga sekarang.
RA Kartini. Ya, nama ini kiranya tidak lagi asing di telinga masyarakat Indonesia. Setiap tanggal 21 April, hari kelahirannya diperingati oleh masyarakat Indonesia, karena kiprahnya dalam memperjuangkan emansipasi perempuan.
Emansipasi perempuan, adalah sebuah gerakan yang lahir sebagai bentuk “perlawanan” terhadap dominasi laki-laki yang membatasi peran perempuan di ranah publik.
Gerakan emansipasi perempuan sendiri bukan lah gerakan yang hendak menentang kodrat sebagai perempuan. Tetapi perjuangan agar perempuan diberi ruang dan akhirnya bisa berperan yang sama dengan laki-laki.
Secara teologis, peran yang sama antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah hak. Islam secara tegas menyebutkan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.al-Hujurat : 13).
Jelas, secara tegas Tuhan (Allah SWT.) tidak melakukan pembatasan peran perempuan di ranah publik (sosial). Tetapi di tataran realitas, sejarah mencacat, kedudukan perempuan dalam struktur sosial, sangat memprihatinkan. Perempuan dipandang tidak lebih dari “objek” perlakuan seks kaum laki-laki dan dianggap sebagai beban dalam strata sosial.
Dalam tradisi dan kultur masyarakat Arab pra Islam, perempuan tidak berharga sama sekali. Itu sebabnya, jika ada anak terlahir perempuan, itu dipandang sebagai aib sehingga laik untuk “disingkirkan”.
Di Indonesia, penghargaan lebih terhadap anak laki-laki daripada perempuan juga tidak bisa dipungkiri. Ini karena anggapan anak laki-laki lebih bisa diandalkan untuk membantu dan menggantikan posisi orangtuanya kelak.
Marginalisasi terhadap perempuan itu, di Indonesia, juga masih sering terjadi. Di lingkungan kerja, misalnya. Laki-laki biasanya mendapatkan upah yang lebih banyak dari perempuan.
Itu makanya, gerakan emansipasi perempuan, masih harus terus diperjuangkan. Karena di umur ke-129 tahun RA Kartini (RA Kartini lahir 21 April 1879), diskrimiasi terhadap perempuan masih sering terjadi dalam lingkungan dan ruang yang berbeda.
Ini menandakan, bahwa peringatan emansipasi di Indonesia yang bertepatan dengan hari lahir RA Kartini, hanya sekadar repetisi tanpa pemaknaan. Sehingga kurang mempunyai urgensi sama sekali.

SEMANGAT EMANSIPASI
Semangat emansipasi inilah yang sebenarnya harus didengungkan. Bukan sekadar perayaan berikut pakaian adat dengan berbagai kemeriahan yang Cuma bersifat simbolik semata.
Misi pencerahan dan semangat mendidik kaum perempuan inilah, yang harus kita gali dan kita tanamkan kepada generasi yang akan datang. Dengan ini, maka diskriminasi akan terlilir sedikit demi sedikit.
Perjuangan emansipasi RA Kartini harus diteruskan. Dari 25 tahun umurnya, karena pada tanggal 17 September 1904, sepuluh hari setelah ia melahirkan puteranya, Susalit, beliau meninggal dunia.
Tetapi pendeknya umur itu, tidak menghalanginya untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya, kaum perempuan. Perjuangannya itu, bahkan telah berdengung hingga ke Eropa.
Bagi RA Kartini, perempuan, para ibu, harus berdaya. Karena “Ibulah yang jadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu...”
Di peringatan hari RA Kartini yang ke-129 ini, impian “Habis gelap terbitlah terang” segera tercipta dan tidak lagi menjadi mimpi belaka. []

Urgensi Pendidikan Anak Usia Dini

Dewasa ini, marak sekali dibuka lembaga pendidikan untuk anak-anak pra sekolah, baik play group (kelompok bermain) maupun taman kanak-kanak (TK). Sejauh manakah urgensi dari pendidikan anak pra sekolah yang lazim dikenal dengan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) ini?
Pendidikan anak pra sekolah, merupakan jalur pendidikan anak pada usia antara tiga sampai lima tahun, dengan tujuan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar (Uhbiyati, 2000).
Model pendidikan ini sangat diperlukan, untuk menjembatani perkembangan kepribadian anak. Mengingat, pada masa anak-anak lah sesungguhnya karakter dasar seseorang dibentuk. Berkualitas atau tidaknya seseorang di masa dewasa, salah satunya sangat dipengaruhi oleh proses pendidikan yang diterima anak sejak dini.
Ini sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003, di mana pendidikan anak pra sekolah (usia dini) diharapkan dapat berperan secara aktif mengembangkan potensi anak.
Berbicara masalah pendidikan anak usia dini, kita akan menemukan “mutiara” pemikiran Ibnu Shina, yang menegaskah bahwa, mendidik anak sejak usia dini, itu ibarat mengukir di atas batu. Sehingga akan selalu lekat dan sulit untuk dihilangkan (al-ta’allum fi al-shaghir ka al-naqsi ‘ala al-hajar).
Friedrich Wilhelm Froebel (1782-1852) mengemukakan, pendidikan anak pra sekolah salah satunya bertujuan agar anak dapat memahami kesatuan dirinya dengan orang lain, alam dan Tuhan (Suyanto, 2005).
Berbagai penjelasan di atas, dengan jelas menegaskan betapa pendidikan untuk anak harus sudah diberikan sedini mungkin. Pertama, karena karakter anak bisa dibentuk dari sini.
Kedua, untuk mengetahui potensi anak, sehingga anak bisa diarahkan untuk menekuni potensi (bakat alam) yang dimilikinya, tanpa mengurangi pendidikan atau pengetahuan lain.
Ketiga, pendidikan anak sejak dini, memungkinkan ingatan yang sangat mengakar, sebagaimana dikatakan Ibnu Shina di atas, bahwa mendidik anak sejak kecil, itu ibarat mengukir di atas batu.
Berbeda jika kita mengajar anak yang sudah besar, maka akan mudah lupa. Karena pikiran anak sudah terkontaminasi dengan banyak hal. Ibnu Shina mengibaratkan mengajar anak pada usia dewasa, laksana mengukir di atas air. al-ta’allum fi al-kabir ka al-naqsi ‘ala al-maa’.
Selain ketiga hal di atas, upaya penanaman pendidikan moral juga lebih tersampaikan dengan baik. Hurlock (2005) menjelaskan, penanaman moral pada anak dapat dilakukan dengan jalan memberikan pendidikan agama yang cenderung akan mengkondisikan kehidupannya secara agama.
Pendapat ini Hurlock kemukakan berdasarkan pengamatannya terhadap anak-anak di Eropa yang dibiasakan hidup secara agamis, pada saat dewasa relatif menunjukkan sikap hidup yang berkelakuan baik pula.
Sedikit ilustrasi ini, setidaknya dapat memberikan berbagai pandangan mengenai urgensi pendidikan bagi anak usia dini. Di mana manfaat dari pendidikan ini sangat besar sekali bagi perkembangan anak di masa-masa mendatang.